ASPEK
PERSEROAN, PERBANKAN, PERASURANSIAN DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA
KONSTRUKSI
Definisi dan struktur dari
aspek perseroran, Perbankan, Perasuransian dan
Perpajakan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis
dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional. Posisi strategis tersebut
dapat dilihat dari adanya keterkaitan dengan sektor lain. Jasa konstruksi
sesungguhnya merupakan bagian penting dari terbentuknya produk konstruksi,
karena jasa konstruksi menjadi arena pertemuan antara penyedia jasa dengan
pengguna jasa. Pada wilayah penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting
yang mempengaruhi perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha,
pekerjanya dan rantai pasok yang menentukan keberhasilan dari proses penyediaan
layanan jasa konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi.
Oleh karena itu, pengembangan jasa konstruksi menjadi
agenda publik yang penting dan strategis bila melihat perkembangan yang terjadi
secara cepat dalam konteks globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan
kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, serta kerusakan dan bencana
alam. Selain itu, perkembangan jasa konstruksi juga tidak bisa dilepaskan dari
konteks proses transformasi politik, budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang
terjadi. Saat ini pengembangan jasa konstruksi dihadapkan pada masalah domestik
berupa dinamika penguatan masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi
demokrasi di tingkat daerah dan nasional serta berkembangnya beragam model
transaksi dan hubungan antara penyedia dengan pengguna jasa konstruksi dalam
lingkup pemerintah dan swasta.
Sejumlah tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan
dan penguatan kembali pengaturan kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa
konstruksi, untuk menjamin sektor konstruksi Indonesia dapat tumbuh,
berkembang, memiliki nilai tambah yang meningkat secara berkelanjutan,
profesionalisme dan daya saing. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan
mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap Undang- 2 Undang Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang tentang
Jasa Konstruksi”) yang telah berlaku selama 15 (lima belas) tahun. Evaluasi dan
perbaikan tersebut ditujukan untuk menjawab sejumlah persoalan saat ini dan ke
depan. Pada prinsipnya, UU tentang Jasa Konstruksi mengatur jenis, bentuk, dan
bidang usaha jasa konstruksi, pengikatan kontrak, tanggungjawab penyedia dan
pengguna jasa, penataan partisipasi masyarakat jasa konstruksi, kegagalan
bangunan, peran masyarakat jasa konstruksi, pembinaan, penyelesaian sengketa
dan ketentuan pidana.
ASPEK-ASPEK YANG TERKANDUNG DAlAM KONTRAK KONTRUKSI
Kontrak
konstruksi atau dokumen mengandung aspek-aspek seperti aspek teknis, hukum,
administrasi, keuangan/perbankan, perpajakan, dan sosial ekonomi. Seluruh aspek
harus dicermati karena semuanya saliang mempengaruhi dan ikut menentukan baik
buruknya suatu pelaksanaan kontrak, atau dengan kata lain sukses tidaknya
sesuatu proyek sangat tergantung dari penanganan aspek-aspek ini.
1. Aspek Teknis
Tidak
diragukan lagi bahwa aspek teknis merupakan paling dominan dalam suatu kontrak
konstruksi. Aspek inilah yang menjadi pusat perhatian para para pelaku industri
jasa kontruksi, seolah olah apabila aspek ini berhasil dilaksanakan proyek
tersebut diangap berhasil dan sukses.
Padahal,
aspek-aspek lain seharusnya juga diperhatikan dan dikelola dengan baik agar
seluruh isi kontrak dapat dijalankan dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Padahal
umumnya aspek aspek teknis yang tercangkup dalam beberapa dokumen kontrak
adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat
umum kontrak (General Condition of Contract)
b. Lampiran-lampiran (Appendix)
c.
Syarat-syarat Khusus Kontrak (Special Condition of contract/
Conditions of Contract – Particular)
d. Spesifikasi Teknis (Technical Spesification)
e. Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawing)
2. Aspek Hukum
Sesungguhnya seluruh dokumen kontrak terutama
kontrak/perjanjian itu sendiri adalah hukum. Pasal 1338 KUHP menyatakan bahwa
seluruh perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Beberapa contoh mengenai pasal-pasal dalam kontrak kontruksi
yang sarat dengan aspek hukum:
a. Penghentian sementara
b. Pengakhiran
perjanjian/pemutusan kontrak
c. Penyelesaian
peselisihan
d. Keadaan memaksa
e. Hukum yang berlaku
f. Bahasa kontrak
g. Domisili
3. Aspek
Keuangan/ Perbankan
Aspek-aspek Keuangan/ perbankan yang penting dalam kontrak
kontruksi antara lain:
a. Nilai kontrak (Contract Amount) / Harga Borongan
b. Cara Pembayaran (Method of Payment)
c. Jaminan (Guarantee / Bonds)
Nilai kontrak dan cara pembayaran kiranya cukup/jelas, bahwa
kedua hak ini penting dicantumkan dalam kontak dan merupakan aaspek paling
penting untuk dicamtumkan karena pembayaran dan cara pembayaran, dipandang dari
sisi penyediaan jasa, merupakan tujuan akhir dari suatu kontrak kerja.
Pembayaran dan cara pembayarannya dangat erat berkaitan
dengan jaminan yang harus disediakan, baik oleh penyedia jasa maupun pengusaha
jasa untuk menjamin/mengamankan pembayaran-pembayaran tersebut.
Jaminan-jaminan yang biasanya harus disediakan oleh penyedia
jasa adalah:
Ø Jaminan uang muka
Ø Jaminan pelaksana
Ø Jaminan perawatan atas cacat
Sedangkan jaminan yang dapat diberikan oleh pihak pengguna
jasa adalah
Ø Jaminan pembayaran
4. Aspek
Perpajakan
Dalam suatu kontrak kontrusi terkandung aspek perpajakan,
terutama yang berkaitan dengan nilai kontrak sebagai pendapatan penyedia jasa.
Jasa. Jenis pajak yang terkai dengan jasa kontruksi adalah:
a. Pajak Pertambahan nilai (PPN)
b. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum yang mengenai Pajak Pertambahan nilai (PPN) atas
jasa kontruksi diatur pada pasal 4 (c) UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan UU No.18 Tahun 2000. Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan
(PPh) atas penghasilan jasa kontruksi siatur pada pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.7
Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.17
Tahun 2000.
5. Aspek
peransuransian
Aspek peransuransian yang biasanya terdapat dalam kontrak
konstruksi adalah asuransi yang mencakup seluruh proyek termasuk jaminan kepada
pihak ketiga dengan masa pertanggungan selama proyek berlangsung. Jenis
asuransi umumnya dikenal denganistilah contractor’s all dan third party liability
assurance (CAR dan TPL). Biasanya penerima manfaat (beneficiary) dari asuransi
ini adalah pengguna jasa tetapi yang membayar premi adalah penyedia jasa.
Besarnya nilai premi ini dapat saja tercantum secara khusus dalam daftar bill
of quantity (B0Q). Asuransi jenis lainnya biasanya terdapat dalam kontrak
adalah asuransi tenaga kerja dan asuransi kesehatan.
6. Aspek
Sosial Ekonomi
Aspek sosial ekonomi tidak jarang terdapat atau
dipersyaratkan didalam kontrak konstruksi sebagai syarat-syarat kontrak.
Diantara aspek sosial ekonomi adalah keharusan menggunakan tenaga kerja
tertentu, menggunakan bahan-bahan bangunan/material serta peralatan yang
diperoleh didalam negeri dan dampak lingkungan.
7. Aspek
Administrasi
Aspek administrasi didalam kontrak konstruksi antara lain
keterangan mengenai para pihak, laporan keuangan, surat menyurat dan hubungan
kerja antara pihak.
ASPEK AGRARIA
DALAM PEMBANGUNAN
Definisi, Konsep,
dan Struktur Agraria dalam Pembangunan
Agraria merupakan
hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria
sering pula disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal, agraria
berhubungan erat dengan pertanian (dalam
pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena
terkait dengan pengolahan lahan.
Pengertian Hukum Agraria
Hukum Agraria pasti berbicara tentang hukum soal
tanah, demikian kebanyakan kita berpikir mengenai agraria yang sering
diperbincangkan. Karena istilah agraria memang identik dengan persoalan tanah.
Demikian pula dengan hukum agraria. Ketika mendengarnya kita langsung
menyamakan dengan pengaturan atas tanah berdasarkan peraturan yang ada. Dan hal
ini tidak sepenuhnya salah ketika mengidentikkan hukum tentang tanah dengan
hukum agraria.
Hukum Agraria dalam ilmu hukum sebenarnya memiliki
pengertian yang lebih luas. Dalam bahasa latin, agraria yang sering di sebut
dengan “ager” mempunyai arti tanah atau sebidang tanah. Dalam bahasa latin pula
kata “agrarius” berarti persawahan atau perladangan atau bisa juga pertanian.
Jika kita buka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “Agraria”
berarti urusan pertanahan dan atau tanah pertanahan serta urusan pemilikan atas
tanah. Sedang dalam bahasa inggris istilah agraria atau sering disebut dengan
“agrarian” yang berarti tanah dan sering dihubungkan dengan berbagai usaha
pertanian.
Definisi tentang agraria yang demikian, sangat berlainan
dengan pengertian agraria yang termaktub dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(Hukum Agraria) yang memberikan pengertian agraria dalam arti yang lebih luas,
ialah bahwa agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria yang berarti sangat luas tersebut
berdasarkan berbagai rumusan dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria, baik di dalam konsiderans, pasal dan penjelasan Undang-Undang Pokok
Agraria atau sering kita sebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA
No.5/Tahun 1960). Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dalam
menerangkan tentang hukum agraria diantaranya adalah: Gouwgiokssiong dalam Buku
Agrarian Law 1972, mendefinisikan bahwa hukum agraria merupakan hukum yang
identik dengan tanah, hukum agraria dalam arti yang sempit. Dalam buku
Pengantar dalam Hukum Indonesia 16, E. Utrecht memberikan pengertian yang sama
terhadap hukum agraria dan hukum tanah. Dia berpendapat bahwa hukum agraria
(hukum tanah) menjadi bukum tata usaha negara. W.L.G Lemaire dalam buku Het
Recht in Indonesia 1952 membicarakan hukum agraria adalah suatu kelompok hukum
bulat yang meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan
hukum administrasi negara.
Sedang Bachsan Mustafa, SH., memberikan pengertian bahwa
hukum agraria adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur bagaimana para
pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang keagrariaan, d an Boedi Harsono, memberikan pengertian
terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang
hukum semata. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang
mengatur penguasaan atas berbagai sumber daya alam tertentu yang termasuk di
dalam pengertian agraria.
Dari berbagai pengertian tentang hukum agraria di atas,
kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya hukum agraria mempunyai pengertian baik
dalam pengertian hukum agraria secara luas maupun pengertian hukum agraria
secara sempit.
ASPEK AGRARIA
Aspek agraria/ penguasaan tanah adalah terdiri dari
hak, kewajiban dan batasan (RRR). Digambarkan dalam diagram berikut.
Menurut sifat, penguasaan tanah
dibedakan menjadi tetap dan sementara. Penguasaan tanah tetap contohnya tanah
yang dkuasai dari proses jual beli. Penguasaan tanah sementara contohnya tanah
garapan yang dikuasai dalam batas waktu atau tanah sewa.
Tidak setiap kepemilikan tanah
mencerminkan penguasaan tanah. Ada tanah yang dimiliki oleh A, namun dikuasai
oleh B (karena B sebagai penggarap). Pola hubungan kepemilikan dan penguasaan
tidak selalu harus serial namun bisa paralel. Seseorang bisa menguasai banyak
bidang tanah milik orang lain atau sebaliknya. Menurut statusnya, pemilikan
tanah dibedakan menjadi : pemilikan tanah berdasar hukum formal dan pemilikan
tanah berdasar hukum adat (Wiradi, 2009). Pemilikan tanah menurut hukum formal
sebagai contoh : Hak Milik, hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lain sebagainya.
Di Indonesia diatur dalam hukum tanah nasional yang mengacu kepada
Undang-undang No.5 tahun 1960 atau lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-undang
Pokok Agraria).
Pemilikan tanah berdasar hukum adat
meskipun tidak diakui sebagai hukum positif namun secara realita diakui
keberadaannya oleh masyarakat dan seringkali dijadikan dasar (alas hak) pemberian
hak kepemilikan menurut hukum positif. Contoh pemilikan menurut hukum adat :
tanah yasan (merupakan tanah hasil membuka lahan yang dikategorikan setara
dengan hak milik), tanah gogolan (merupakan pembagian tanah pertanian milik
desa, penerima hak tidak boleh menjual), tanah titisoro atau tanah bondodeso
(tanah milik desa yang pemanfaatannya digilir berdasar jabatan desa), dan lain
sebagainya.
Tatanan hukum dan norma sosial yang
mendasari status pemilikan tanah, baik menurut hukum positif maupun menurut
masyarkat hukum adat, membentuk pola hubungan tanah-individu-masyarakat-negara
yang disebut Sistem Penguasaan Tanah.
TANAH SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Tiga pilar pokok dari terminologi “pembanguan
berkelanjutan” adalah: ekonomi,
lingkungan dan sosial
(Williamson, 2009). Dalam perkembangannya kemudian menjadi empat pilar,
ditambah unsur pemerintahan yang diselenggarakan dengan baik (good governance). Pada gilirannya sistem
administrasi pertanahan (land
administration system = LAS), sebagai bagian subsitem pemerintahan yang
baik, dalam berbagai perannya yang strategis seharusnya dapat berkontribusi
dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Bentuk kontribusi bisa dalam konteks
aturan, teknologi dan berbagai eksplorasi strategis. Peraturan pertanahan yang
disusun semestinya menjalin hubungan yang harmonis antara kepentingan umum dan
kepentingan bisnis. Selain itu peraturan pertanahan harus menciptakan jaminan
kepastian hukum. Sehingga tanah memiliki kepastian nilai ekonomis sehingga bisa
diberdayakan lebih luas meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Aspek teknis dari kontribusi LAS
dapat menghasilkan perangkat dalam penyelesaian sengketa pertanahan dan dalam
konteks perencanaan ruang dapat mengeksekusi model-model perencanaan tata ruang
dan wilayah yang ideal. Ekplorasi teknis lebih lanjut diharapkan mewujudkan
peta tunggal sebagai wadah / kerangka sehingga terjadi efisiensi anggaran dan
efektifitas pekerjaan.
Untuk mengembangkan dan mengelola
aset-aset sumberdaya dalam pengelolaan pertanahan mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan maka disusunlah kaidah-kaidah pokok administrasi pertanahan
(Williamson, 2009). Kaidah-kaidah tersebut yakni :
1. Sistem
Administrasi Pertanahan (Land Administration System / LAS). LAS
menyediakan infrastruktur untuk implementasi politik pertanahan dan pengelolaan
pertanahan mendukung pembangunan berkelanjutan.
2. Paradigma
pengelolaan pertanahan,
menyediakan konsepsi kerangka kerja untuk memahami dan inovasi administrasi
pertanahan.
3. Masyarakat
dan institusi, bertujuan
memwujudkan pemerintahan yang baik, pembangunan kapasitas, pengembangan
institusional. LAS seharusnya me-reka-ulang prosedur-prosedur layanan sehingga
didapatkan bentuk pelayanan yang lebih memenuhi kebutuhan pengguna : warga
negara, pemerintah dan pebisnis.
4. Hak,
Kewajiban dan Batasan, hak
biasanya berkaitan dengan kepemilikan sedangkan batasan berkaitan dengan
pengontrolan penggunaan dan aktivitas pemakaian tanah, sedangkan kewajiban
lebih kepada aspek etik dan komitmen sosial.
5. Kadaster, merupakan tulang punggung LAS yang
berkaitan dengan penyatuan data spasial dan identifikasi tunggal dari setiap
bidang tanah.
6. LAS yang
dinamis, memiliki 4
dimensi, yakni : 1. menampung refleksi perubahan yang evolusioner terkait
hubungan tanah dan masyarakat, 2. pemanfaatan ICT (information and communication technologies) dan globalisasi beserta
akibatnya terhadap desain dan operasi dari LAS, 3. sifat alamiah informasi dari
LAS yang senantiasa mengalami perubahan yang cukup cepat, 4. perubahan
penggunaan dan informasi bidang tanah.
7. Proses, termasuk di dalam LAS adalah
kumpulan proses yang menangani perubahan informasi tanah. Proses tersebut
antara lain menangani : transfer, perubahan, pembuatan dan penyebaran
kepentingan-kepentingan, penilaian dan pengembangan tanah.
8. Teknologi, merupakan peluang yang berpotensi
mengembangkan eifisiensi LAS.
9. Infrastruktur
Data Spasial, membuka
dimensi baru dalam kerja efektif dan efisien dalam sebuah bidang kerja spasial
yang lebih ramah untuk bagi-pakai sehingga bagi pakai informasi menjadi lebih
mudah yang berdampak mengurangi pemborosan sumberdaya untuk pengolahan data
yang sama.
10. Ukuran
sukses, tidak
ditentukan oleh rumit dan kompleksnya kerangka kerja legal atau kecanggihan
teknologi. Suksesnya LAS diukur dari kemampuannya mengelola dan
mengadministrasi tanah secara efisien, efektif dan murah.
ASPEK PENATAAN
RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Konsep Dasar
Penataan Ruang, Aspek Hukum Penataan Ruang, Dan Wewenang Pengelola Dalam
Perencanaan Kota
Rencana tata ruang merupakan rencana
pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar
sektor dalam rangka penyusunan program-program pembangunan dalam jangka panjang
(Nurmandi, 1999). Oleh karena itu, rencana tata ruang dapat dijadikan sebagai
salah satu acuan dalam penyusunan rencana program pembangunan yang merupakan
rencana jangka menengah dan jangka pendek. Kegiatan penataan ruang berkaitan juga dengan perencanaan
pembangunan sehingga dokumen yang dihasilkan dari kegiatan penataan ruang dan
perencanaan pembangunan sama-sama ditujukan untuk memprediksi kegiatan yang
akan dilakukan di masa mendatang. Selain itu, rencana tata ruang sebagai hasil
dari kegiatan perencanaan tata ruang merupakan bagian dari proses perencanaan
pembangunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti telah disebutkan
sebelumnya bahwa pemanfaatan ruang merupakan serangkaian program pelaksanaan
beserta pembiayaannya selama jangka waktu perencanaan. Kegiatan pemanfaatan
ruang antara lain berupa penyuluhan dan pemasyarakatan rencana, penyusunan
program, penyusunan peraturan pelaksanaan dan perangkat insentif dan
disinsentif, penyusunan dan pengusulan proyek dan pelaksanaan program dan
proyek (Oetomo, 1998). Rencana tata ruang harus dapat dioperasionalisasikan
sehingga dapat menjadi strategi dan kebijaksanaan daerah untuk mencapai tujuan
dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Disamping itu, rencana tata
ruang harus berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program/proyek yang
akan dilaksanakan di daerah yang berasal dari berbagai sumber dana, sebagai
wujud dari pemanfaatan rencana tata ruang di daerah.
Kedudukan rencana tata ruang wilayah dalam mekanisme
perencanaan pembangunan daerah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar Kedudukan
Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah
Berikut:
Kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Mekanisme
Perencanaan Pembangunan Daerah Berikut
Perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses
pembangunan melalui 3 alat utama yaitu (Cadman dan Crowe, 1991):
1.
Rencana
pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan stategis
dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan
perubahan lingkungan.
2.
Kontrol
pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk
mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol
pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang (developers) dan
investor.
3.
Promosi
pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara
perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan,
maka dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya
pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan
lokasi, membuat lahan yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta
subsidi.
Pertumbuhan ekonomi
menyebabkan kebutuhan untuk mengembangkan lahan secara intensif. Selain itu,
kegiatan implementasi rencana tata ruang melalui promosi pembangunan perlu
dilakukan dalam rangka mencegah pembangunan yang tidak diinginkan dan mendorong
terjadinya pembangunan (Cadman dan Crowe, 1991). Hal ini diikuti dengan
ketertarikan para developer (termasuk pemerintah), untuk ikut serta
berpartisipasi dalam pembangunan, penyiapan proposal rencana, kemungkinan
perubahan pada lahan milik, penyediaan dana, persiapan fisik dan konstruksi
kerja.
Dalam membahas rencana spasial dan rencana pembangunan
daerah secara sekaligus, maka akan tidak terlepas juga dari aspek keuangan. Saat
ini, tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana memanfaatkan rencana tata
ruang sebagai media manajemen pembangunan daerah. Dalam hal ini, rencana tata
ruang dihadapkan tidak hanya pada masalah bagaimana mengimplementasikannya
dalam konteks pembangunan, tetapi juga rencana tersebut dapat digunakan sebagai
suatu alat yang dapat memperkirakan besarnya investasi yang diperlukan dan
berapa pendapatan (revenue) yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu, pembangunan
akan memerlukan peran berbagai aktor tersebut agar ruang dapat dimanfaatkan
secara optimal sesuai dengan rencana tata ruang dalam rangka peningkatan
pendapatan daerah dan tercapainya tujuan pembangunan.
Suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan untuk diwujudkan
apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak
seluruh pemanfaatnya, serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya,
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para
pemanfaatnya. Dilengkapi dengan kesadaran pertimbangan pembiayaan dan waktu,
maka dengan kata lain suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu
wawasan yang lengkap dan terpadu serta operasional, yang tentu saja tingkat
operasionalnya disesuaikan dengan tingkat hirarki dan fungsi dari rencana tata
ruang tersebut.
Rencana tata ruang dapat menjadi dasar dalam:
· Penyusunan Propeda
· Penentuan lokasi
pembangunan tiap sektor
· Penyusunan anggaran daerah
dan sektor
·
Pengaturan
dan pengendalian pembangunan melalui mekanisme perijinan dan penertiban
penggunaan lahan.
Berdasarkan
hal tersebut, jelaslah bahwa rencana tata ruang tidak hanya digunakan dalam
mekanisme penerbitan ijin saja, tetapi juga sebagai dasar dalam penyusunan
dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan jangka pendek serta
penyusunan anggaran daerah. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa setiap
kegiatan, baik fisik maupun non-fisik, pasti akan memerlukan ruang agar
kegiatan tersebut berlangsung. Selain itu, seperti dikemukakan oleh Foley
(1967) bahwa tata ruang tidak hanya merupakan konsepsi keruangan (spasial),
tetapi juga terdapat wawasan bukan keruangan (a-spasial) karena kegiatan yang
menyangkut spasial tidak terlepas dari kondisi a-spasial yang terjadi.
Usman
dalam Munir (2002) memandang perlu bahwa dimensi spasial dalam pembangunan daerah
dapat menjadikan pembangunan daerah mempunyai watak atau ciri tersendiri, serta
memiliki pola dan spirit sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya.
Dalam upaya peningkatan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna, khususnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah serta mendorong pembangunan berkelanjutan, ada
beberapa tindakan yang perlu dilakukan, antara lain:
1.
Penyusunan
rencana tata ruang harus bersifat partisipatif dan dinamis dalam rangka
menghadapi tuntutan globalisasi dan kebutuhan ruang masyarakat serta sesuai
dengan kondisi, karakteristik dan daya dukung daerah.
2.
Melibatkan
masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang demi tercapainya penataan ruang
yang berbasis peran serta masyarakat.
3.
Menggunakan
rencana tata ruang yang ditetapkan sebagai pedoman penyusunan program-program
pembangunan dan penerbitan perijinan pemanfaatan ruang serta alat kendali dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang agar tujuan dari rencana tata ruang
tercapai.
4.
Melaksanakan
pembangunan daerah melalui pendekatan pengembangan wilayah bukan pendekatan
sektor dimana program/proyek dari sektor/bidang serta alokasi pendanaannya
diarahkan untuk pengembangan wilayah/kawasan prioritas yang telah ditetapkan
dalam rencana tata ruang.
5.
Meningkatkan
sosialisasi serta menyebarluaskan seluruh informasi rencana tata ruang dan
kebijaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang, agar masyarakat
(stakeholder) dapat mengetahuinya secara jelas dan pasti tentang kebijaksanaan
rencana tata ruang yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
6.
Menegakkan
peraturan dan penerapan sanksi bagi pelanggar tata ruang ditinjau dari jenis
pelanggarannya.
7.
Menciptakan
dan meningkatkan hubungan kerja sama antar daerah dalam pola pemanfaatan ruang,
agar tercipta keserasian, keseimbangan dan keselarasan tata ruang.
8.
Menyiapkan
kebijaksanaan tentang insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang, agar
fungsi/peruntukan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dapat
terwujud.
Pembangunan dengan pendekatan kewilayahan
yang merupakan pembangunan terpadu menurut Budiharsono (2001) diharapkan dapat
mengurangi kesalahan-kesalahan pembangunan di masa lalu. Dengan pendekatan
wilayah, akan dapat tercipta suatu sistem pembangunan yang bersifat terpadu
dengan mendorong terciptanya berbagai bentuk spatial linkages, seperti jaringan
interaksi fisik, sosial, ekonomi, teknologi dan administrasi.
Penyusunan dan pengusulan program dan
proyek yang sesuai dengan rencana tata ruang bertujuan untuk mewujudkan
keterpaduan antara program pembangunan dengan rencana tata ruang yang ada
sehingga rencana tata ruang tidak hanya dilihat sebagai aspek prosedural dalam
penyelenggaraan pembangunan daerah tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat
menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan. Oleh karena itu, rencana
tata ruang merupakan salah satu kebijaksanaan yang strategis di daerah.
Rencana tata ruang wilayah
kota menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan
administrasi pertanahan.Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kota adalah
20 (dua puluh) tahun. Rencana tata ruang wilayah
kota sebagaimana dimaksud ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun. kota Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah
provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang,
rencana tata ruang wilayah kota ditinjau kembali lebih dari 1 (satu)
kali dalam 5 (lima) tahun.
Rencana tata ruang wilayah kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
Rencana tata ruang wilayah kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
1.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota mengacu
pada:
· Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
· Pedoman dan petunjuk
pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
· Rencana pembangunan jangka
panjang daerah.
2.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota harus
memperhatikan:
·
Perkembangan
permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota;
·
Upaya
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kota ;
·
Keselarasan
aspirasi pembangunan kota ;
·
Daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
·
Rencana
pembangunan jangka panjang daerah;
·
Rencana
tata ruang wilayah kota yang berbatasan; dan
·
Rencana
tata ruang kawasan strategis kota.
3.
Rencana tata ruang wilayah kota memuat:
·
Tujuan,
kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kota ;
· Rencana struktur ruang
wilayah kota yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang
terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana
wilayah kota ;
· Rencana pola ruang
wilayah kota yang meliputi kawasan lindung kota dan
kawasan budi daya kota;
· Penetapan kawasan
strategis kota;
· Arahan pemanfaatan ruang
wilayah kota yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima
tahunan; dan
· Ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi ketentuan umum peraturan
zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.
4.
Rencana tata ruang wilayah kota menjadi pedoman
untuk:
· Penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang daerah;
· Penyusunan rencana
pembangunan jangka menengah daerah;
· Pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota;
· Mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;
· Penetapan lokasi dan fungsi
ruang untuk investasi; dan
· Penataan ruang kawasan
strategis kota.
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud terdiri dari
ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang
terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling
sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Distribusi ruang
terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan dengan sebaran
penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola
ruang.
1.
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud berlaku mutatis
mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ditambahkan:
· Rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau;
· Rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
· Rencana penyediaan dan
pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan
sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan
fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah.
Selain tata ruang perkotaan
yang diperhatikan ada beberapa aspek tata ruang yang harus diperhatikan juga
yaitu tata ruang untuk wilayah nasional Jangka
waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh)
tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Dalam kondisi
lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar
yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas
teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan
pemerintah.
1.
Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan:
· Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
· Perkembangan permasalahan regional dan global,
serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional;
· Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
serta stabilitas ekonomi.
2.
Aspek
lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional
adalah:
·
Keselarasan aspirasi
pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
·
Daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup;
·
Rencana pembangunan
jangka panjang nasional;
·
Rencana tata ruang
kawasan strategis nasional; dan
·
Rencana tata ruang
wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
3.
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
·
Tujuan, kebijakan, dan
strategi penataan ruang wilayah nasional;
·
Rencana struktur ruang
wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan
kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
utama;
·
Rencana pola ruang
wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya
yang memiliki nilai strategis nasional;
·
Renetapan kawasan
strategis nasional;
·
Arahan pemanfaatan ruang
yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
·
Arahan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi
sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi.
4.
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
·
Penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang nasional;
·
Penyusunan rencana
pembangunan jangka menengah nasional;
·
Pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
·
Mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta
keserasian antarsektor;
·
Penetapan lokasi dan
fungsi ruang untuk investasi;
·
Penataan ruang kawasan
strategis nasional; dan
·
Penataan ruang wilayah
provinsi dan kabupaten/kota.
PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Dalam rangkaian proses
pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia memerlukan beberapa izin
kepada pemerintah serta pihak-pihak terkait. Proses pengurusan izin tersebut
bisa jadi memakan banyak waktu dan biaya namun tentunya hal tersebut untuk
kebaikan semua pihak, misalnya ketika kontraktor menggunakan alat berat tower
crane sebagai alat angkat selama proses pembangunan berlangsung. Kontraktor
diharuskan mengurus izin TC ke departemen tenaga kerja dengan begitu maka
denpanker bisa memastikan apakah alat tersebut aman serta layak digunakan.
Macam-macam perizinan pada proyek pembangunan gedung yang harus diurus dengan
beres adalah sebagai berikut:
1.
Pengukuran dari pemerintah
daerah.
2.
Block Plan.
3.
Izin Pelaksanaan (IP)
Pondasi.
4.
Izin Pelaksanaan (IP)
Struktur.
5.
Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL).
6.
Surat izin bekerja
perencanaan konsultan perencana arsitektur, MEP, struktur.
7.
Izin mendirikan bangunan
untuk prngurusannya diperlukan data izin peil banjir dan AMDAL
8.
Izin departemen tenaga
kerja meliputi izin lift, tower crane, gondola, genset, penangkal petir dsb.
9.
Izin ke dinas pemadam
kebakaran.
10.
Izin kebandan pengelola
lingkungan hidup daerah untuk izin limbah.
11.
Izin deep well ini pada
saat pekerjaan dewatering untuk menurunkan muka air tanah agar pekerjaan
pondasi dapat berjalan dengan lancer.
12.
Surat izin bekerja
perencana manajemen konstruksi atau konsultan pengawas.
13.
Sertifikat layak fungsi
ini dapat jika telah selesai izin denpaker, pemadam kebakaran dan BPLHD.
14.
Izin penyembungan
instalasi gedung (Telkom untuk sarana informasi, PLN untuk listrik, dan PDAM
untuk air).
15.
Izin pemindahan atau
penghilangan benda yang menghalangi pembangunan contohnya pohon, tiang telpon,
tiang listrik, gardu PLN, panel dll.
Beberapa jenis peizinan
lain bisa jadi diperlukan saat pelaksanaan misalnya izin ke satpol PP
menggunakan fasilitas umum untuk kegiatan proyek, izin ke kelurahan dimana
proyek berlangsung, izin ke kepolisan untuk pengamanan dan kelancaran proses
pelaksanaan pembangunan. Semua dokumen perizinan tersebut harus lengkap saat
serah terima gedung dari kontraktor kepada owner sebagai pemilik gedung,
pegurusannya bisa melalui biro konsultan perizinan atau diurus sendiri.
ARBRITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
Cara-Cara
Penyelesaian Sengketa Dalam Penyelenggaraan Konstruksi
Konstruksi adalah
salah satu industri yang sangat kompleks, hal ini karena dalam proyek
konstruksi terdapat multi disiplin ilmu dan berurusan dengan orang banyak yang
memiliki kepentingan masing-masing. Kondisi ini pula yang membuka peluang
sengketa menjadi lebih besar. Apabila merujuk kepada data statistik yang
dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dimana sengketa
kontruksi mendominasi kasus yang ditangani oleh BANI. Mulai periode tahun 1999
hingga 2016, tercatat terdapat 470 kasus, dimana kasus konstruksi mendominasi
sebesar 30, 8 % dari total kasus yang ditangani oleh BANI. Pasca terbitnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017)
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi,
penyelesaian sengketa konstruksi yang semula ditempuh melalui 2 (dua) jalur,
yakni jalur pengadilan dan di luar pengadilan mengalami perubahan.
Setelah terbitnya UU No. 2/2017 tentang Jasa
Konstruksi, sengketa konstruksi terlebih dahulu diselesaikan melalui musyawarah
untuk mufakat. Apabila para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan,
maka penyelesaian ditempuh melalui tahapan penyelesaian sengketa yang diatur
dalam kontrak kerja konstruksi. Kemudian apabila penyelesaian sengketa tidak
tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para pihak dengan persetujuan
tertulis mengatur mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang dipilih. Adapun
tahapan-tahapan penyelesaian sengketa sesuai UU No. 2/2017 adalah:
1. Para pihak yang bersengketa
terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mufakat;
2. Apabila musyawarah tersebut
tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa disesuaikan berdasarkan kontrak
kerja konstruksi;
3. Apabila penyelesaian
sengketa tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui
tahapan sebagai berikut:
4. Mediasi;
5. Konsiliasi, dan;
6. Arbitrase
7. Jika penyelesain sengketa
tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para pihak yang
bersengketa membuat tata cara penyelesaian yang dipilih.
Jasa konstruksi merupakan salah satu sektor yang cukup
rawan dengan sengketa. Sebab, bisnis ini melibatkan banyak pihak dan memiliki
layanan yang kompleks. Layanan tersebut mulai dari jasa konsultansi
perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Tak heran, klaim di antara para
pihak dapat melahirkan sengketa. Misalnya, ketika terjadi kegagalan bangunan
atau pengusaha jasa konstruksi tidak berhasil merampungkan pembangunan gedung
sesuai terminasi dan syarat-syarat yang disepakati. Pemesan gedung tentu saja bisa jalur yang lazim dipakai untuk
menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan umum secara perdata atau di luar
pengadilan. Namun, pengusaha jasa konstruksi lebih memilih penyelesaian
sengketa di luar mempersoalkan kegagalan tersebut lewat jalur
hukum. penyelesaian dengan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa terbukti efektif dalam penyelesaian sengketa, terutama yang terkait
konstruksi. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa hal tersebut juga menjadi
salah satu latar belakang berdirinya BADAPSKI. Institusinya itu hadir untuk
menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan beberapa
kelebihan. Pertama, punya kekhususan di bidang konstruksi dan kedua cara
pembiayaannya. Bagi institusi pemerintah yang tergantung pada dana APBN diberi kelonggaran
dengan menyampaikan surat jaminan sebagai pengganti biaya administrasi yang
nantinya dibayarkan setelah tersedianya anggaran atau pada saat putusan majelis
arbitrase diterbitkan. Dibandingkan dengan proses beracara di pengadilan,
alternatif penyelesaian sengketa bisa dikatakan lebih efisien. Terlebih lagi,
dalam bisnis yang cukup kompleks seperti konstruksi. Hal ini lantaran
melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua belah pihak
dalam usaha penyelesaian sengketa. sengketa di meja arbitrase maupun
alternatif lain di luar pengadilan didukung oleh ahli yang memahami persoalan. BADAPSKI
bisa menyediakan seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak
yang bersengketa. Organisasi ini bisa mengembangkan secara positif pembangunan
infrastruktur tanpa adanya sengketa antara para pihak yang dapat menimbulkan
terjadinya hambatan fisik dan finansial pada proyek-proyek infrastruktur. Hal
ini juga bisa mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang
biasa terjadi. Serta mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan
ke pengadilan. Mekanisme
penyelesaian sengketa konstruksi diantara para pihak lebih menekankan
penyelesaian di luar jalur pengadilan. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dimana setidaknya terdapat
beberapa keunggulan, yaitu:
1. Kerahasian sengketa
terjaga. Kerahasian merupakan suatu keunggulan yang dapat diperoleh ketika
menggunakan jalur di luar pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena proses
hingga putusan penyelesaian sengketa tidak dipublikasikan kepada publik.
Keunggulan ini tentu akan berimplikasi kepada hubungan antara para pihak yang
bersengketa tetap baik, sehingga kelangsungan pekerjaan tetap dapat
dilanjutkan.
2. Sengketa diputus oleh pihak
penengah (mediator, konsiliator, arbiter) yang mengerti bidang konstruksi. Hal
ini dikarenakan para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih pihak penengah
yang akan memutus atau memberi anjuran terkait sengketa yang sedang terjadi.
Artinya para pihak dapat memilih pihak penengah yang memiliki pengetahuan
konstruksi. Hal ini tidak terlepas dari sifat sengketa konstruksi bersifat
teknis, sehingga pihak yang menjadi penengah dapat memutus atau memberi anjuran
secara tepat.
3. Jangka waktu relatif
singkat. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki keunggulan
secara waktu dalam penyelesaian sengketa. Artinya, penyelesaian sengketa dapat
diselesaikan secara cepat daripada penyelesaian melalui jalur pengadilan. Hal
ini tentu akan berimplikasi terhadap kepastian yang akan diterima para pihak
yang bersengketa, seperti: kepastian atas kelangsungan pekerjaan, pembayaran
pekerjaan. Kondisi sesuai dengan kebutuhan dari para pihak dimana sengketa
dapat terselesaikan dengan tidak mengancam keberlangsungan pekerjaan dan
hubungan baik diantara para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Erdinal Agung, 2014. 8
Aspek Manajemen Proyek Konstruksi. http://8aspekmanajemenproyekkonstruksi.blogspot.com/2014/11/aspek-aspek-yang-terkandung-dalam.html. [Diakses pada 05 Januari
2019]
2. Fahmi Widodo, 2013.
Penguasaan Tanah Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan. https://www.academia.edu/4893311/Penguasaan_Tanah_untuk_mendukung_Pembangunan_Berkelanjutan. [Diakses pada 05 Januari
2019]
3. Ahadi,
2014. Macam-macam Perizinan pada Proyek Pembangunan Gedung. http://www.ilmusipil.com/macam-macam-perizinan-pada-proyek-pembangunan-gedung. [Diakses pada 04 Januari 2019]
4. Anonim. Perencanaan Tata
Ruang Wilayah Nasional. http://www.penataanruang.com/perencanaan-tata-ruang-wilayah-nasional.html/ [Diakses pada 04 Januari 2019]
5. Anonim, 2015. Peran Rencana
Tata Ruang dalam Perencanaan Pembangunan. https://perencanaankota.blogspot.com/2015/05/peran-rencana-tata-ruang-dalam.html. [Diakses pada 04 Januari 2019]
Posting Komentar